Menyoal tentang Ruang Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Menyoal Ruang BK: Barangkali semuanya sepakat, bahwa agar pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat berjalan optimal, mutlak harus tersedia ruang Bimbingan dan Konseling ….

oleh: Akhmad Sudrajat

Meski Bimbingan dan Konseling disebut-sebut sebagai bagian integral dalam layanan pendidikan di sekolah, namun hingga kini nasibnya masih tetap memprihatinkan. Khusus berkenaan dengan kondisi ruang Bimbingan dan Konseling, di sekolah-sekolah kita masih bisa ditemukan ruang Bimbingan dan Konseling dalam kondisi yang seadanya dan memprihatinkan, atau bahkan sama sekali tidak memiliki ruang khusus Bimbingan dan Konseling, sehingga para guru BK/konselor terpaksa harus bekerja di ruangan yang serba seadanya, atau bahkan bekerja dimana-mana karena memang tidak disediakan ruangan khusus.

Tentunya banyak alasan kenapa sekolah tidak memiliki ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Namun dari sejumlah alasan, tampaknya alasan komitmen dan kepedulian dari pihak yang kompeten (khususnya dari para pemegang kebijakan pendidikan) menjadi lebih utama. Hingga saat ini para pemegang kebijakan tampaknya belum pernah menjadikan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan sekolah. Prioritas pembangunan sekolah yang terjadi selama ini cenderung lebih memfokuskan pada pembangunan yang terkait dengan pelayanan pembelajaran dan administratif, seperti pengadaan ruang kelas, ruang guru, ruang TU, ruang kepala sekolah, ruang laboratorium atau perpustakaan. Jika sekolah tidak memiliki ruangan-ruangan itu dianggap sebagai masalah besar, tetapi jika sekolah tidak memiliki ruang Bimbingan dan Konseling tampaknya belum dianggap sebagai masalah.

Berbagai bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ruangan-ruangan tersebut mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, baik yang dialokasikan melalui APBN mau pun APBD. Namun untuk pengadaan ruangan Bimbingan dan Konseling (termasuk sarana Bimbingan dan Konseling lainnya) hingga saat ini kita (khususnya saya pribadi) belum pernah mendengar hal itu. Bahkan ketika pemerintah membuka paket-paket sekolah baru pun tidak pernah secara eksplisit dalam master plan mencantumkan ruang atau paling tidak menyediakan lahan yang secara sengaja diperuntukkan bagi layanan Bimbingan dan Konseling.

Beberapa sekolah yang saat ini telah memiliki ruang khusus Bimbingan dan Konseling yang representatif, pada umumnya dibangun dan disediakan setelah mereka mampu menyelesaikan kebutuhan ruang kelas dan ruang-ruang lainnya. Artinya, tetap saja penyediaan ruang Bimbingan dan Konseling menjadi prioritas ke sekian. Hal itu pun kadang-kadang dilalui setelah berganti-ganti dan bertukar tempat dengan ruang lainnya, misalnya dengan menyulap ruang WC atau gudang menjadi ruang Bimbingan dan Konseling, kemudian berpindah lagi, berpindah lagi dan seterusnya hingga akhirnya dapat terwujud sebuah ruang Bimbingan dan Konseling yang lumayan representatif.

Barangkali semuanya sepakat, bahwa agar pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat berjalan optimal, mutlak harus tersedia ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Seorang kepala sekolah sebagai manajer di sekolah pada dasarnya sangat berkeinginan memliki ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Demikian pula, para guru BK/Konselor pun sangat berharap memiliki ruang kerja yang representatif dan membuat mereka betah dalam bekerja. Begitu pula, para orang tua siswa ketika berkonsultasi dengan guru BK/Konselor tidak menghendaki diterima di ruangan yang tidak jelas bentuknya. Tentu saja, para siswa pun untuk menarik manfaat dari Bimbingan dan Konseling, mereka ingin dilayani di ruangan yang dapat memberikan kenyamanan bagi dirinya.

Ada setitik harapan, jika memang benar ke depannya pemerintah mampu mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%, diharapkan salah satu proyeksinya adalah penyediaan ruang Bimbingan dan Konseling beserta sarananya yang memadai dan representatif, sehingga ke depannya tidak terjadi lagi ruang Bimbingan dan Konseling dengan kategori RSS (Ruangan Sangat Sempit), yang selama ini justru membuat para siswa enggan datang ke ruang Bimbingan dan Konseling.

Lagi-lagi, semuanya akan berpulang kepada good will dari para pemegang kebijakan.

======

Penulis: AKHMAD SUDRAJAT

[Ayah dari dua orang puteri: Ditta Nisa Rofa dan Nourma Fitria Sabila]

12 tanggapan untuk “Menyoal tentang Ruang Bimbingan dan Konseling di Sekolah”

  1. Sy setuju dg Bapak Sudrajat.. Bhw pendidikan di Indonesia blm mewunjudkan pendidikan manusia seutuhnya. Yg diutamakan selalu koginitif..intelektual..rasio. Masih kering dr afektif..emisionak spiritual dan rasa.
    Iba melihat anak2 kita hadir di sekolah membawa beban mental yg berat. Sampai di sekolah..beban itu tdk segera ditolong diambil..kecuali sudah akut. Siswa dilihat sehat atau normal kalau kelihatan dr ‘luarnya’ normal.. Entah mental spiritualnya mgkn sedang menjerit… Minta disambangi… Alih alih.. Masuk BK..justru dikuatkan stempel bermasalahnya.
    Semoga pengambil kebijakan, pemerhati dan pelaku pendidikan di Indonesia diberikan mata dan telinga yg lbh lembut unt menangkao kelembutan mental spiritual anak2 kita..calon pemimpin masa depan..
    Berkahilah ya Allah…

Komentar ditutup.